Ketegangan Iran-Israel Ancam Industri Otomotif Indonesia, Pakar: Saatnya Perkuat Rantai Pasok
DAPURPACU.COM – Konflik antara Iran dan Israel di kawasan Timur Tengah dikhawatirkan berdampak luas ke berbagai sektor, termasuk otomotif Indonesia. Gangguan ini muncul karena banyak pabrikan dalam negeri mengekspor kendaraan ke negara-negara di wilayah tersebut.
Menurut Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), konflik ini berpotensi mendorong harga minyak naik. Kenaikan itu otomatis meningkatkan biaya logistik dan produksi kendaraan.
“Jika harga minyak melonjak, ongkos pengiriman dan bahan baku pasti ikut terdorong,” ujar Yannes saat diwawancara pada Kamis (19/6/2025).
Ia menambahkan bahwa distribusi komponen otomotif yang bergantung pada petrokimia bisa melambat. Termasuk suplai semikonduktor dan suku cadang penting lainnya. Hal ini memicu kekhawatiran soal stabilitas rantai pasok global.
Pemerintah dan Industri Perlu Bergerak Bersama
Yannes menyarankan pemerintah dan industri otomotif untuk menyusun langkah antisipatif. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dalam memperkuat pasokan dalam negeri.
“Kita bisa gunakan momentum ini untuk kurangi ketergantungan impor,” katanya.
“Tingkatkan kandungan lokal, dorong hilirisasi industri, dan cari mitra dagang di luar zona konflik.”
Penjualan Mobil Lesu, Ekonomi Tak Stabil
Penjualan mobil di dalam negeri menunjukkan penurunan sepanjang Januari–Mei 2025. Distribusi dari pabrik ke dealer turun 5,5% menjadi 316.981 unit. Penjualan ke konsumen pun ikut merosot sebesar 9,2%, hanya mencapai 328.852 unit.
Fakta ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2025 hanya 4,87%. Angka tersebut lebih rendah dari periode sama tahun lalu yang sebesar 5,11%.
“Kelas menengah mulai mengalihkan belanja mereka ke kebutuhan dasar,” jelas Yannes.
Peralihan ke Mobil Listrik Jadi Tantangan Baru
Yannes juga menyoroti tren baru di pasar otomotif. Kini, konsumen mulai tertarik pada mobil listrik (EV), terutama produk dari China dan Vietnam yang menawarkan harga lebih murah.
Namun, ia mengingatkan bahwa pertumbuhan industri tetap akan stagnan jika kondisi ekonomi makro tidak membaik. Industri harus lebih fleksibel dalam mengikuti permintaan pasar.
“Kita butuh kendaraan yang murah, hemat, dan cocok untuk generasi muda. Kalau tidak, pasar akan stagnan sampai akhir tahun,” tuturnya.