Mengapa Industri Otomotif Jepang Terbagi Dua Faksi demi Perang EV

DAPURPACU.COM – Industri otomotif Jepang, yang selama beberapa dekade dikenal sebagai pelopor efisiensi dan inovasi, kini menghadapi salah satu tantangan paling signifikan dalam sejarahnya: transisi menuju kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV). Namun, alih-alih bersatu untuk menghadapi perubahan global ini, para pemain besar di industri otomotif Jepang justru terbagi menjadi dua faksi yang berbeda pandangan tentang masa depan mobilitas. Apa yang menyebabkan perpecahan ini, dan bagaimana dampaknya terhadap masa depan industri otomotif Jepang?

Dua Faksi dengan Dua Strategi Berbeda

Perpecahan dalam industri otomotif Jepang dapat dijelaskan secara garis besar sebagai pertarungan antara faksi konservatif dan faksi progresif. Faksi konservatif dipimpin oleh raksasa seperti Toyota, yang selama ini dikenal dengan strategi “multi-pathway” atau pendekatan multi-jalur terhadap teknologi ramah lingkungan. Toyota percaya bahwa masa depan tidak hanya milik EV berbasis baterai, tetapi juga kendaraan hibrida, hidrogen (fuel cell), dan mesin pembakaran internal yang lebih efisien.

Di sisi lain, faksi progresif yang terdiri dari perusahaan seperti Nissan, Honda, dan sejumlah perusahaan rintisan, lebih fokus pada percepatan transisi ke kendaraan listrik murni berbasis baterai (BEV – Battery Electric Vehicle). Mereka berpendapat bahwa hanya EV murni yang mampu memenuhi target emisi global, tuntutan pasar, dan harapan investor.

Alasan Toyota Bertahan dengan Strategi Multi-Jalur

Sebagai pemimpin pasar global dan pionir dalam teknologi hybrid, Toyota mengambil pendekatan hati-hati terhadap peralihan penuh ke EV. Mereka berdalih bahwa infrastruktur pengisian daya yang belum merata, keterbatasan pasokan baterai, serta kebutuhan pelanggan di berbagai negara yang berbeda, membuat strategi multi-jalur lebih rasional. Selain itu, Toyota juga mengandalkan investasi besar-besaran yang sudah dilakukan pada teknologi hybrid, yang terbukti lebih efisien secara biaya di banyak pasar berkembang.

Namun, pendekatan ini mendapat kritik keras dari investor, aktivis lingkungan, dan pemerintah negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang telah menetapkan target ambisius untuk melarang mobil berbahan bakar fosil dalam dua dekade ke depan.

Bangkitnya Faksi Pro-EV

Nissan adalah produsen mobil pertama di dunia yang meluncurkan mobil listrik massal dengan Nissan Leaf pada 2010. Walaupun sempat tertinggal dalam dekade berikutnya, kini Nissan dan Honda kembali memperkuat komitmennya terhadap kendaraan listrik. Mereka bekerja sama dengan produsen baterai global dan merancang platform khusus untuk EV masa depan. Bahkan Honda telah mengumumkan rencana untuk menghentikan penjualan mobil berbahan bakar bensin di pasar utama pada 2040.

Baca Juga:  Produksi Otomotif Thailand Mulai Tunjukkan Tanda Pemulihan di Maret 2025

Faksi progresif ini percaya bahwa menunda adopsi EV akan membuat Jepang kalah bersaing dengan produsen dari China, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Mereka menunjuk dominasi perusahaan seperti Tesla dan BYD sebagai bukti bahwa pasar EV sedang bergeser cepat.

Peran Pemerintah Jepang

Pemerintah Jepang sendiri berada di posisi yang cukup rumit. Di satu sisi, Jepang ingin menjaga keunggulan industrinya di tengah perubahan global. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyesuaikan kebijakan dengan tekanan internasional dan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon. Jepang telah menetapkan target net-zero emisi pada 2050, tetapi masih memberikan ruang besar bagi teknologi hybrid dan hidrogen.

Beberapa pengamat menganggap pendekatan pemerintah terlalu “akomodatif” terhadap industri besar seperti Toyota, sehingga menghambat adopsi EV lebih cepat. Padahal negara pesaing seperti China telah jauh di depan dalam hal investasi infrastruktur EV, subsidi baterai, dan pengembangan teknologi.

Dampak Perpecahan terhadap Daya Saing Global

Perpecahan di dalam industri otomotif Jepang memiliki konsekuensi serius terhadap daya saing global mereka. Saat perusahaan otomotif dari negara lain bergerak cepat dan agresif mengembangkan EV, Jepang terlihat lebih lambat dalam mengadopsi perubahan. Bahkan perusahaan seperti Mazda dan Subaru masih belum menunjukkan komitmen kuat terhadap transisi ini.

Lebih dari itu, ketidakseragaman arah strategi membuat riset dan pengembangan (R&D) di Jepang menjadi terfragmentasi. Sementara negara lain mengonsolidasikan sumber daya untuk satu tujuan – elektrifikasi penuh – Jepang masih membagi fokus pada beberapa teknologi sekaligus. Hal ini berisiko membuat Jepang kehilangan posisi sebagai pemimpin inovasi otomotif dunia.

Kesimpulan

Perang EV telah memecah industri otomotif Jepang menjadi dua faksi utama: mereka yang ingin mempertahankan strategi multi-jalur seperti Toyota, dan mereka yang mendukung transisi penuh ke kendaraan listrik seperti Nissan dan Honda. Masing-masing faksi memiliki alasan yang kuat, baik dari sisi teknis, ekonomi, maupun geopolitik. Namun, di tengah tekanan global untuk menurunkan emisi dan menghadapi kompetisi yang semakin ketat, Jepang harus segera menemukan konsensus nasional agar tidak tertinggal dalam perlombaan mobilitas masa depan.

Industri otomotif Jepang masih memiliki modal besar – pengalaman, teknologi, dan pasar global. Namun, tanpa arah yang jelas dan komitmen bersama terhadap elektrifikasi, keunggulan historis itu bisa saja memudar di era mobil listrik.