dapurpacu – Tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, didakwa menerima suap sebesar Rp1 miliar dan SGD 308.000 (sekitar Rp3,6 miliar) terkait vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR RI, dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian mantan pacarnya, Dini Sera Afriyanti.
Dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan bahwa ketiga hakim tersebut menerima uang suap dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, dan pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Uang suap diberikan secara bertahap dan terpisah kepada masing-masing hakim.
Erintuah Damanik, selaku ketua majelis hakim, menerima uang sebesar SGD 48.000, SGD 38.000, dan SGD 30.000. Sementara itu, Mangapul dan Heru Hanindyo masing-masing menerima SGD 36.000. Selain itu, Erintuah juga menerima uang tunai sebesar Rp1 miliar dan SGD 120.000 dari Meirizka dan Lisa.
Pemberian suap dilakukan di beberapa tempat, termasuk di sebuah gerai makanan di Bandara Udara Jenderal Ahmad Yani Semarang dan di ruang kerja hakim PN Surabaya. Lisa Rachmat sempat bertemu dengan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, untuk meminta dicarikan hakim yang bisa mengkondisikan persidangan Ronald Tannur. Zarof kemudian mempertemukan Lisa dengan Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul.
Pada 24 Juli 2024, majelis hakim yang terdiri dari Erintuah Damanik, Mangapul sbobet, dan Heru Hanindyo menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur. Vonis ini menuai kritik tajam dari publik dan jaksa penuntut umum yang kemudian mengajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan vonis bebas tersebut dan menghukum Ronald Tannur dengan pidana penjara selama 5 tahun.
Setelah vonis bebas Ronald Tannur dibatalkan, tim Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menangkap ketiga hakim serta Lisa Rachmat. Ketiga hakim saat ini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Surabaya, sementara Lisa ditahan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Ketiga hakim didakwa melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya sebagai hakim. Mereka diancam dengan pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan terhadap hakim dan integritas sistem peradilan di Indonesia. Ketua Ikatan Hakim Indonesia, Yasardin, mengungkapkan bahwa lemahnya pengawasan di daerah membuat banyak hakim merasa bebas dari pengawasan langsung. Selain itu, kesenjangan kesejahteraan para hakim sering disebut sebagai salah satu pemicu terjadinya praktik suap.
Dr. Lies Sulistiani, S.H., M.Hum., akademisi dari Universitas Padjadjaran, menekankan pentingnya integritas tinggi di kalangan sumber daya manusia dalam sistem peradilan. “Perilaku korup tidak hanya disebabkan oleh tingkat pendapatan, tetapi terutama oleh mentalitas, moral, dan integritas,” ujarnya.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh hakim di Indonesia untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.
Pemenang Le Mans 24 Hours, Ryo Hirakawa, resmi bergabung dengan tim Formula 1 Alpine sebagai…
MotoGP 2025 akan diramaikan oleh tiga pendatang baru, yaitu Ai Ogura, Fermin Aldeguer, dan Somkiat…
Suzuki Indonesia telah terdaftar dengan kendaraan baru untuk pasar domestik. Kendaraan ini diduga kuat merupakan…
Fédération Internationale de l'Automobile (FIA) telah mengumumkan jadwal resmi untuk Kejuaraan Dunia Formula E musim…
Zhou Guanyu merasa bangga telah mengukir sejarah sebagai pembalap Formula 1 pertama dari China, meskipun…
Nico Hulkenberg, pembalap Formula 1 asal Jerman yang dikenal karena konsistensinya di lintasan, telah mencapai…